saat ini anda berada di eljazuly.co.cc, kunjungi juga blog kami di eljazuly19.bogspot.com dan darulamilin.wordpress.com terima kasih sudah berkunjung ketempat kami, silahkan copi+paste kan banner blog kami di blog anda dan kami akan segera meng link anda kembali , mari menjadi manusia menuju kesuksesan dunia akhirat

Kamis, 20 Januari 2011

Peran Juru Sita Pada Peradilan Agama


A. Sekilas tentang Peradilan Agama diIndonesia
Sebelum memasuki tentang peradilan agama di Indonesia, kita perlu untuk mengetahui dua kata yang sangat terkait Brat yaitu kata "peradilan" dan "pengadilan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diterangkan bahwa kata "peradilan" menunjuk segala sesuatu mengenai perkara pengadilan; dan kata "pengadilan" memi­liki arti: (1) dewan atau majelis yang mengadili perkara, mahkamah; (2) proses mengadili; (3) sidang hakim ketika mengadili perkara; dan (4) rumah (bangunan) tempat mengadili perkara.[1] Abdul Gani Abdullah mengemukakan bahwa istilah peradilan adalah kewena­ngan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan atas na­ma hukum demi tegaknya dan keadilan.[2] Sedangkan pengadilan ber­arti tempat di mana dilakukan peradilan, yakni majelis hukum atau mahkamah.[3]

Kata Peradilan Agama adalah terjemahan dari bahasa Belanda yaitu "godsdienstige rechtspraak." Godsdienstige berarti ibadah atau aga­ma, adapun kata rechtspraak berarti peradilan. Dalam perundangan Belanda istilah godsdienstige rechtspraak dipakai sebagai pemisahan dari peradilan umum, yang lebih bersifat keduniawian atau dikenal de­ngan istilah wereldlijke rechtpraak.[4]
Istilah lain yang dipergunakan di Jawa-Madura adalah "priester raad' yang biasa diterjemahkan dengan "raad agama". Kata "priester" berarti pendeta, padri atau biksu, nama tersebut digunakan oleh Belanda, karena mereka mengira bahwa alim ulama dalam masya­rakat Indonesiaadalah semacam pendeta atau padri dalam agama Kristen. Sedangkan kata "raad' berarti majelis.[5]
R. Wirjono Projodikoro, seorang guru besar di bidang hukum, menyebut Peradilan Agama dengan istilah Peradilan Agama Islam.[6]Pengertian "Peradilan Agama" dalam perundang-undangan dinyata­kan dalam Indirche S'taatsregeling(disingkat I.S.) pasal 134 ayat 2 berbunyi, "Penyelesaian perselisihan Hukum Perdata antara orang Islam dengan orang Islam yang harus diputuskan menurut hukum agamanya."[7]
Untuk Jawa dan Madura ada peraturan termuat dalam Staatshlad 1882-152 dan kemudian ditambah dan diubah, oleh Staatshlad 1937­116. Menurut pasal 2a dari peraturan ini. Pengadilan-pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang-­orang Islam mengenai nikah-kawin, talak, rujuk, perceraian, mene­tapkan pecahnya perkawinan dan pemenuhan syarat taklik.[8]
Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, namun belum bisa diidentikkan dengan Peradilan Islam secara universal, di samping itu pula bahwa Peradilan Agama bersifat khusus. Kekhususannya pertama karena Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara perdata dan pi­dana, melainkan hanya perdata saja. Perdata itu pun hanya perdata Islam yang terbatas saja. Dan dipandang dari para pencari keadilan yang diurusnya juga tidak mencakup semua orang tetapi hanya orang-orang tertentu, yaitu yang termasuk kategori beragama Islam."
Sekarang Peradilan Agama ditetapkan melalui Undang-Un­dang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 di­sebutkan bahwa, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Kemudian kedudukan Peradilan Agama semakin kuat setelah lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Aga­ma.[9]
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 memuat beberapa perubahan yang signifikan, yaitu:[10]
Pertama, sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 semua aturan perundang-undangan mengenai Peradilan Agama sebelumnya di­nyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia didasarkan kepada peraturan yang sa­ma dan seragam.
Kedua, mengenai kedudukan pengadilan. Sebelum berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 terdapat ketidaksejajaran antara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan pengadilan lainnya, khu­susnya pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Hal ini sebe­lumnya tercermin adanya pengukuhan atas putusan Pengadilan Aga­ma oleh Pengadilan Negeri. Maka dengan lahirnya Undang-undang ini, Pengadilan Agama memiliki kemandirian untuk melak­sanakan putusannya sendiri yang dilaksanakan oleh jurusita. Keju­rusitaan merupakan pranata baru dalam susunan organisasi Penga­dilan Agama.
Ketiga, kedudukan hakim. Menu-tut ketentuan pasal 15 ayat (1), hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Ne­gara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Mahkamah Agung. Hal ini sama berlaku bagi hakim dalam lingkungan Peradilan Umum.
Keempat, tentang wewenang pengadilan. Menurut ketentuan pasal 49 ayat (1), "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang me­meriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama orang-orang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah."
Kelima, tentang hukum acara. Menurut pasal 54, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Keenam, tentang penyelenggaraan administrasi peradilan yang meliputi administrasi peradilan dan administrasi umum.
Ketujuh, perlindungan terhadap wanita, yaitu bahwa gugatan perceraian tidak diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kediaman tergugat, tetapi ke pengadilan yang daerah hu­kumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

B. Jurusita Pengadilan Agama pasca UU. No. 7 tahun 1989
Dalam pasal 33 ayat 3 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Keten­tuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa, "Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan."
Kedudukan Jurusita pada Pengadilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 38 berbunyi, "Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita Pengganti."
Dalam pasal 103 jo. Pasal 10, 13,16 KMA/004/Sk/ 11/92, ter­cantum bahwa tugas juru sita sebagai berikut:
  1. Juru Sita bertugas:
a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-te­guran, dan pemberitahuan penetapan atau putusan Peng­adilan menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang­undang;
c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya dise­rahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
  1. Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan.
Sebelum adanya UU No. 7 Tahun 1989 untuk menjalankan paksa putusan (eksekusi) oleh Jurusita (deuwarder), termasuk sita jaminan (conservatoir beslag) atau sita untuk mendapatkan kembali barangnya (revindicatoir-beslag) masih harus meminta bantuan kepada badan Peradilan umum. Namun dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 setiap putusan oleh Pengadilan Agama tidak perlu lagi meminta bantuan atau pengukuhan oleh Peradilan Umum, termasuk dalam perihal Jurusita.[11]
Dalam Hukum Acara Perdata dikenal dua macam putusan, yaitu putusan akhir (eindvonnis) dan putusan sela (tussenvonnis). Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri perkara perdata yang dipe­riksa oleh hakim, sedangkan putusan sela adalah yang diadakan sebe­lum hakim memutuskan perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan perkara. Dalam putu­san sela ada dua jenis putusan yaitu putusanpraeparatoir, yaitu Pu­tusan yang tidak mempengaruhi akan bunyi putusan akhir, dan putu­san interlocutoir yaitu putusan yang dapat mempengaruhi bunyi putusan akhir.[12]
Sedangkan putusan hakim menurut sifatnya dikenal tiga macam putusan, yaitu:
1. Putusan declaratoir, yaitu putusan yang bersifat hanya mene­rangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Mi­salnya, bahwa A adalah anak angkat yang sah dari X dan Y, atau bahwa A, B, dan C adalah ahli waris dari almarhum X.
2. Putusan constitutif, yaitu putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru. Contohnya, adalah putusan perceraian, putusan yang menya­takan seorang jatuh pailit.
3. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang berisi penghukuman. Misalnya, di mana pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan rumahnya, membayar utang.
Pada umumnya dalam suatu putusan Hakim memuat beberapa macam putusan, atau dengan lain perkataan merupakan peng­gabungan dari putusan declaratoir dan putusanconstitutif atau peng­gabungan antara putusandeclaratoir dengan putusan condemnatoirdan sebagainya.[13]
Dalam hal pemanggilan pihak-pihak petugas dan kewajibannya diatur dalam pasal 388 H.I.R. (Herziene Inlandsch Reglement), bahwa:
1. Untuk menjalankan panggilan, pemberitahuan dan sekalian su­rat jurusita yang lain, juga untuk melakukan perintah hakim dan putusan hakim, sama-sama berhak dan diwajibkan sekalian ju­rusita dan pesuruh yang bekerja pada majelis pengadilan dan pegawai kuasa hukum.
2. Jika tidak ada orang demikian itu, maka ketua majelis penga­dilan, yang dalam pegangannya surat jurusita itu akan dija­lankan, harus menunjukkan seorang yang patut dan boleh di­percayai untuk pekerjaan itu.
Dalam pasal 390 H.I.R. menentukan, bahwa:
1. Tiap-tiap surat jurusita, kecuali yang tersebut di bawah ini, harus disampaikan kepada orang yang bersangkutan sendiri di tempat diamnya atau tinggalnya dan, jika tidak bertemu dengan orang itu di situ, kepada kepala desanya atau beknya, yang wajib de­ngan segera memberitahukan surat jurusita itu kepada orang itu sendiri; akan tetapi hal itu tidak perlu dinyatakan dalam hukum.
2. Tentang orang yang sudah mati, maka suratjurusita itu disam­paikan kepada ahli warisnya; jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan kepada kepala desa atau bek di tempat ting­gal yang terkemudian dari orang yang mati itu di Indonesia; maka kepada desa atau bek itu harus berbuat sebagaimana teratur pada ayat di atas ini. Jika orang yang mad itu masuk golo­ngan orang timur asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan tercatat kepada balai harta peninggalan.
3. Tentang orang yang tidak diketahui tempat diamnya atau tinggalnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu disampaikan kepada bupati, yang dalam pegangan­nya terletak tempat tinggal orang yang menggugat dan dalam perkara pidana, yang dalam pegangannya berkedudukan hakim yang berhak; bupati itu memaklumkansurat jurusita dengan menempelkan pada pintu yang terbesar di tempat persidangan hakim yang berhak.[14]

C. Peranan Jurusita di  Pengadilan Agama
Kedudukan Jurusita dalam struktur organisasi Peradilan Agama jelas bahwa kedudukan Jurusita memiliki koordinasi dengan Panitera, dimana kedudukan tugasnya membantu Panitera, sebagaimana ter­sebut dalam pasal 26 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, bahwa, "Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Pani­tera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Jurusita."
Adapun tugas-tugas Jurusita dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang PA secara jelas termaktum dalam pasal 103, sebagaimana di­jelaskan di atas.
Kemudian secara lebih spesipik, pada Pengadilan Agama, Jurusita memiliki tugas-tugas yang lebih rinci, karena juru­sita pada pelaksanaan tugasnya lebih menitikberatkan pada bidang pekerjaan teknis, tugas-tugasnya tersebut meliputi:
  1. Bertanggungjawab atas sah dan patut tugas kejurusitaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  2. Berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam tugas Jurusita Pengganti secara vertikal dan horizontal;
  3. Melaksanakan surat perintah Ketua Pengadilan melaksanakan penyitaan terhadap obyek sengketa tertentu dalam perkara;
  4. Betanggungjawab terhadap misi dan visi serta integritas citra pengadilan yang terkait dengan pelaksanaan tugas kejurusitaan;
  5. Meneliti instrument dan PHS yang diterima terutama hari dan tanggal sidang serta alamat para pihak yang akan dihubungi;
  6. Mempersiapkan blanko-blanko dan suratkejurusitaan yang akan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan;
  7. Mengetik surat yang akan disampaikan kepada pihak yang ber­sangkutan;
  8. Menyampaikan surat-surat kejurusitaan kepada alamat yang bersangkutan;
  9. Dalam menyampaikan surat pemanggilan dengan memper­hatikan alokasi waktu sidang agar klasifikasisurat menjadi patut;
  10. Mengupayakan penyampaian surat kejurusitaan agar benar-be­nar diterima oleh pihak yang berhak atau yang berwenang se­hingga klasifikasi suratmenjadi sah;
  11. Berusaha menyampaikan surat kejurusitaan pada saat waktu dan tempat yang tepat agar berhasil guna dan berdayaguna;
  12. Membuat dan menandatangani berita acara penyitaan;
  13. Menyerahkan salinan resmi berita acara penyitaan kepada pihak yang berkepentingan;
  14. Menyerahkan surat-surat yang telah menjadi akta otentik kepada pihak yang berkepentingan;
  15. Menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepen­tingan tentang situasi di lapangan;
  16. Memberikan informasi kepada pihak terkait untuk kelancaran pelaksanaan tugas.

D. Penutup
Peranan Jurusita di Pengadilan Agama tidak terlepas dari pera­turan yang mengatur tentang tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh kejurusitaan, tugas-tugas Jurusita di Pengadilan Agama tercan­tum dalam pasal 103 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Aga­ma

0 komentar:

Posting Komentar

isian nurani anda

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo